Bagaimana Nasib Pertanian Indonesia.....?
Pertanian,
sektor yang tidak menarik lagi untuk dilirik di Indonesia, dan sektor yang
hampir identik dengan kemiskinan. Terpuruknya pertanian Indonesia paska
revolusi hijau (atau penyebab terpuruk pertanian adalah revolusi hijau?)
menjadi bahan kajian yang harus kita cermati, karena pangan, bagaimanapun
keterpurukan pertanian Indonesia, merupakan faktor yang paling vital bagi hidup
manusia.
Berangkat
dari kenyataan bahwa terjadi penyempitan lahan pertanian, khususnya Jawa, yang
amat luar biasa, diikuti oleh ledakan jumlah penduduk yang membutuhkan pangan,
angkatan kerja yang membengkak, produktivitas lahan menurun drastis, degradasi
lahan, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada sektor pertanian,
“konspirasi” WTO, melambungnya harga pupuk dan pestisida, dan munculnya
kompetitior-kompetitor baru yang siap melahap sektor pertanian Indonesia, yaitu
China, Thailand, dll. Hal ini menunjukan pertanian Indonesia telah berada pada
titik nadirnya. Kemudian, apa yang harus dilakukan? Dan bagian mana yang harus
diperbaiki pada sektor ini khususnya untuk menjaga ketahanan pangan di
tahun-tahun mendatang?
Mengikuti
logika yang digunakan oleh Boeke, yang menyatakan desa, sebagai pusat produsen
pertanian (pangan), masih sangat gagap berhadapan dengan dunia industri.
Karakteristik yang masih tradisional baik pada kultur, kehidupan sosial
ekonomi, dan penggunaan teknologi sederhana dalam kehidupan sehari-hari
(bertani) berimplikasi pada corak kematangan masyarakat yang ada. Pada level
ini, sebelum kapitalisme merembes masuk ke desa, Boeke sering menyebut desa
berswasembada dengan aktivitas internal yang dilaluinya. Hidup dengan harmonis,
kebutuhan hidup dipenuhi sendiri, aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup bukan akumulasi kapital seperti dunia industri, dan
desa berdiri mandiri tanpa banyak intervensi kapital dari luar. Namun, kemudian
keadaan ini rusak akibat adanya interaksi dengan perkotaan yang sistemnya
samasekali berkebalikan dengan sistem yang selama ini hidup di desa. Pada saat
berhadapan dengan sesuatu yang asing inilah, desa sangat gagap untuk
beradaptasi dengan sistem yang baru dan bahkan lebih buruk lagi, desa terlindas
oleh perkembangan keadaan ini. Jika demikian, Indonesia yang lebih dua pertiga
wilayahnya merupakan daerah pedesaan dan sebagian besar pendudukya bertempat
tinggal di pedesaan merupakan korban yang sangat menderita.
Selain
kenyataan di atas, terdapat kenyataan pahit lainnya yang dihadapi pertanian
Indonesia, khususnya pada masalah luas lahan, tenaga kerja, dan
produktivitasnya. Semenjak sistem tanam paksa diterapkan, konstruksi
kepemilikan lahan berubah total. Fenomena yang menonjol adalah munculnya
buruh-buruh pertanian yang tidak memiliki lahan atau hanya memiliki lahan yang sempit
(Sritua Arif dan Adi Sasono; 1984). Hal ini berimplikasi sampai saat ini dengan
kepemilikan lahan yang sempit untuk pertanian. Sejalan dengan Cliford Geertz
yang menyatakan adanya involusi di sektor pertanian karena antara perkembangan
penduduk (jumlah keluarga) tidak sebanding dengan kepemilikan lahan yang juga
produktivitasnya sangat rendah. Pertanian berjalan di tempat—bahkan berjalan
mundur. Ini menunjukan masalah kemiskinan sulit dituntaskan di sektor pertanian
Indonesia.
Berdasarkan
latar permasalahan di atas, tentunya kita dihadapkan pada pencarian solusi yang
relevan dengan kenyataan yang ada. Jika Boeke sebelumnya menyebut bahwa desa
sebenarnya sangat bisa untuk mandiri dengan karakter swasembadanya, maka begitu
pula sebenarnya dengan pertanian. Pada poin ini, pertanian bukanlah berdefinisi
tentang hal teknis bertani, melainkan sebuah kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Saya cenderung untuk mengatakan bahwa yang bisa dilakukan untuk
pertanian “tradisional” saat ini, yang berlahan sempit, bermodal rendah, minim
teknologi, jumah tenaga kerja yang banyak, dan merupakan satu-satunya penopang
hidup bagi petani, adalah swasembada seperti kata Boeke tentang desa. Namun
saya pada poin ini mengganti terminologi swasembada dengan Subsistensi
Pertanian Indonesia, karena terdapat beberapa modifikasi dari pemikiran Boeke
tentang swasembada. Misalnya, bagaimana pertanian diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan konsumsi keluarga terlebih dahulu, sebagai bentuk sabuk pengaman
untuk ketahanan pangan bagi petani kecil yang sekarang berjumlah dominan di
Indonesia. Tidaklah lucu kalau petani sampai tidak punya cabai dan harus
membeli di pasar.
Subsistensi
pertanian hanya bisa dilakukan pada pertanian organik. Pertanian organik di
sini bukan berdefinisi pada tingkat higenisitasnya melainkan sistem harmonisasi
yang menjadi spiritnya. Harmonis dalam kehidupan sosial ekonomi, dan siklus
perputaran energi yang terjadi di alam (Rachman Sutanto; 2002). Pertanian
organik menawarkan sistem yang berbeda dengan industri pertanian yang selama
ini menyelimuti sektor pertanian—namun harus berhati-hati karena pertanian
organik sendiri telah mengarah pada komersialisasi dan bukan pada spirit
dasarnya yaitu kebersaman dan kemerataan bagi semua makhluk dan bukan
keserakahan terhadap akumulasi kapital. Subsistensi dipilih sebagai tawaran
solusi terhadap “kebuntuan” masalah pertanian di Indonesia yang sebagain besar
merupakan pertanian berskala kecil.
Maksud
dari subsisten yang ditawarkan di sini adalah mengubah paradigma yang sudah
menjangkiti dunia pertanian yaitu paradigma pasar. Angka statistik manapun
telah dengan nyata menunjukan bahwa pertanian Indonesia tidak bisa bersaing
dengan produk-produk pertanian negara-negara maju dan juga negara-negara
tetangga. Ini disebabkan oleh modal yang minim, teknologi yang rendah,
rendahnya proteksi negara, skill yang minim, lahan yang sempit, jumlah tenaga
kerja yang besar, dan serentetan masalah-masalah yang tidak akan habis
disebut—dan ini merupakan karakter pertanian berskala kecil di Indonesia. Semua
hal tersebut akan menjadi masalah jika kita menganalisis pertanian Indonesia
dengan paradigma pasar, bahwa produk-produk pertanian Indonesia harus bisa
merebut pasar dunia dan pada saat itulah baru bisa dikatakan pertanian kita
telah maju. Tapi dengan kenyataan pahit dan serentetan masalah tersebut
bukankah kita tidak akan pernah dapat bersaing dalam pasar global dan malah
semakin terpuruk? Oleh karena itu, kenapa masih menggunakan paradigma pasar
untuk berpikir tentang pertanian Indonesia jika kita jelas-jelas telah
dirugikan.
Bukankah
hakekat awal pertanian adalah untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga atau
sekelompok masyarakat? Artinya pengutamaan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan
keluarga dengan kualitas yang terbaik merupakan hal yang paling penting. Namun
kenyataan yang ada sekarang bahwa pertanian dipaksa untuk memacu
produktivitasnya setinggi-tingginya dengan jumlah panen yang besar kemudian
dijual ke pasar dengan asumsi mendapat untung dan dapat menghidupi keluarga
petani yang melakukan usaha peningkatan produktivitas tersebut. Akan tetapi,
pada kenyataannya pernahkah petani, khususnya petani kecil, yang melakukan pola
ini mendapat untung seperti yang dibayangkan? Dan akibat sampingan dari pola
ini pemenuhan kebutuhan pangan untuk keluarga sendiri menjadi tersingkirkan dan
tergantikan oleh pengejaran untung semata.
Pada titik
ini subsistensi hadir untuk menggantikan logika pasar dalam pertanian. Logika
subsisten bukan menempatkan keuntungan sebagai hal yang utama, tetapi pemenuhan
terhadap kebutuhan diri sendiri yang utama. Inilah logika survivalitas di masa
ketidakberdayaan pertanian Indonesia. Menyetop ekspansi produk-produk pertanian
dari luar dengan melakukan pemenuhan kebutuhan terhadap diri sendiri dulu.
Jika
seorang petani hanya memiliki luas lahan 2000 m2 dengan rata-rata
hasil panen padi 1,2 – 1,5 ton, maka dari mana petani tersebut bisa menghidupi
seorang istri dan dua orang anaknya di zaman yang serba mahal ini? Oleh sebab
itu, petani tersebut harus mulai memikirkan pemenuhan kebutuhan pangannya
dengan meminimkan transaksi pembelian, namun semua kebutuhan pangan dipenuhi
oleh lahan tersebut. Dan jika ada kelebihan produksi baru dijual. Ini
mengharuskan penanaman berbagai jenis komoditas, dan bukan satu jenis komoditas
yang berasumsi akan mendapatkan keuntungan yang besar seperti pola pertanian
sebelumnya. Di samping itu juga, penanaman berbagai komoditas tanaman tidak
hanya menguntungkan secara ekonomis namun juga ekologis (Rachman Sutanto;
2002).
Di sisi
lain, jika benar Indonesia mengalami kemunduran karena SDM yang lemah, bukan
hanya sektor pendidikan yang harus dikritisi melainkan pangan sebagai sumber
gizi yang merupakan penentu kualitas SDM juga harus diperhatikan. Asupan gizi
yang baik juga akan meningkatkan kualitas manusia. Bagaimana bisa peningkatan
kualitas SDM dilakukan tanpa adanya perbaikan gizi? Oleh sebab itu, upaya
subsisten ini juga bertujuan mereduksi angka gizi buruk di Indonesia dengan
pemenuhan secara kuantitas dan kualitas pangan yang tidak lagi teracuni oleh
bahan kimia sintetis.
Logika
subsisten ini sangat dimungkinkan di pertanian organik. Dalam pertanian organik
biaya produksi bisa ditekan semaksimal mungkin karena tidak harus membeli, atau
sering disebut dengan low input. Ini artinya tidak membutuhkan modal
yang besar, yang memang tidak akan bisa dipenuhi oleh para petani kecil
Indonesia. Pertanian organik menyerap tanaga kerja yang lebih besar dibanding
dengan pertanian bergaya “modern” yang memperhitungkan efesiensi dan
efektivitas. Penyerapan tenaga kerja dalam pertanian organik bisa dimanajemen
dalam pola gotong royong per kelompok. Tenaga petani yang bergotong royong
tidak harus dikonversikan dalam bentuk uang, melainkan saling bantu membantu
atau saling berkontribusi dalam bentuk tenaga dan waktu. Sehingga titik
acuannya tidak lagi uang atau modal yang besar. Teknologi yang diterapkan pun
merupakan teknologi sederhana dan tepat guna yang bisa diaplikasikan oleh
petani manapun.